Firman Hidup

Pemberian dalam Perjanjian Baru – 2 Korintus 8 dan 9 (PDF) Versi PDF



Pemberian dalam Perjanjian Baru – 2 Korintus 9



2. Korintus 9:1-5: pemberian sebagai berkat dan bukan ketamakan

 

Kita akan lanjutkan dalam pasal ke-9, di mana kita membaca:

2 Korintus 9:1-5
“Tentang pelayanan kepada orang-orang kudus tidak perlu lagi aku menuliskannya kepada kamu. Aku telah tahu kerelaan hatimu tentang mana aku megahkan kamu kepada orang-orang Makedonia. Kataku: "Akhaya sudah siap sedia sejak tahun yang lampau." Dan kegiatanmu telah menjadi perangsang bagi banyak orang. Aku mengutus saudara-saudara itu, agar kemegahan kami dalam hal ini atas kamu jangan ternyata menjadi sia-sia, tetapi supaya kamu benar-benar siap sedia seperti yang telah kukatakan, supaya, apabila orang-orang Makedonia datang bersama-sama dengan aku, jangan mereka mendapati kamu belum siap sedia, sehingga kami--untuk tidak mengatakan kamu--merasa malu atas keyakinan kami itu. Sebab itu aku merasa perlu mendorong saudara-saudara itu untuk berangkat mendahului aku, supaya mereka lebih dahulu mengurus pemberian yang telah kamu janjikan sebelumnya, agar nanti tersedia sebagai bukti kemurahan hati kamu dan bukan sebagai pemberian yang dipaksakan”

Kata “bukti kemurahan hati” dalam kalimat terakhir adalah kata Yunani “eulogia” yang artinya “berkat”. Dan “pemberian yang dipaksakan” adalah kata Yunani “pleonexia” yang artinya “ketamakan”. Paulus menyebut pemberian sebagai berkat, bukan persepuluhan, bukan pula pemberian yang diwajibkan. Pemberian adalah berkat! Beginilah seharusnya cara kita memandang pemberian kita kepada orang-orang kudus yang miskin: yaitu sebagai berkat! Paulus senang karena jemaat-jemaat di Korintus sangat ingin memberi, tetapi ia tidak memaksa mereka untuk melakukannya. Pemberian itu haruslah menjadi “berkat dan bukan ketamakan [Yunani: pleonexia]”. Mengenai kata “ketamakan” di sini, seorang komentator menjelaskan dengan baik mengenai bagian ini (Barnes: Albert Barnes’ Notes on the Bible):

“Kata yang digunakan di sini (pleonexia) biasanya berarti ketamakan, kerakusan untuk memperoleh sesuatu, yang menyebabkan seseorang menipu yang lain. Gagasannya di sini adalah Paulus ingin mereka memberi sebagai tindakan kerelaan dari pihak mereka dan bukan sebagai bentuk ketamakan dari pihaknya, bukan pula sebagai bentuk pemaksaan oleh Paulus kepada mereka” (penekanan ditambahkan)

Paulus ingin agar pemberian dari jemaat-jemaat di Korintus menjadi sebuah berkat dan bukan sesuatu yang diambil dari mereka atas dasar ketamakan. Sayang sekali ada orang-orang pada zaman sekarang yang melakukan apa yang tidak mau Paulus lakukan: mereka menggunakan manipulasi dan bujuk rayu untuk memperoleh pemberian dari orang-orang. Orang kadang tidak peduli bagaimana caranya, yang penting tujuan mereka tercapai. Tentu tidak seharusnya demikian. Bukan itu cara yang Allah inginkan. Apa yang Ia inginkan adalah agar pemberian kita merupakan berkat, merupakan sebuah tindakan kerelaan. Sesuatu yang kita ingin lakukan dan dapat kita berikan dan sama sekali bukan sesuatu yang diambil dari kita melalui rasa bersalah, bujuk rayu atau teknik-teknik lain yang seringkali digunakan pada masa kini. Kembali ke Paulus, ia tidak menjadi tamak dalam hal pemberian. Ia menginginkan jemaat-jemaat Korintus untuk memberi, namun ia sangat berhati-hati, bahkan penuh kelemahlembutan dalam hal ini. Di pasal 8 kita melihat betapa Paulus berhati-hati dalam hal ini, dan di pasal ini pun ia bersikap hati-hati. Tepat yang Barnes katakan yaitu bahwa Paulus ingin mereka memberi sebagai tindakan kerelaan dari pihak mereka dan bukan sebagai bentuk ketamakan dari pihaknya. Betapa membebaskannya Firman Allah ini dan betapa banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang pada zaman ini dalam cara mereka menuntut uang dari sesamanya!

2 Korintus 9:6-7: Hukum tabur, tuai dan (sekali lagi) tentang bagaimana memberi

2 Korintus 9:6-7
“Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga. Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.”

Yang paling sering kita dengar dari 2 Korintus 9 adalah ayat yang ke-6 (“Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga”). Paulus tidak menggunakan ayat 6 untuk memanipulasi orang percaya agar mereka memberi. Ia telah berbicara hampir satu setengah pasal panjangnya tentang memberi sebelum ia masuk ke ayat ini. Apa yang Paulus lakukan dalam ayat 6 adalah menyatakan sebuah kebenaran sederhana, yakni: bila kita menabur sedikit, kita akan menuai sedikit juga dan bila kita menabur banyak, kita akan menuai banyak juga. Kita akan menuai apa yang kita tabur. Akan ada balasan atas pemberian kita dan balasan ini sesuai dengan seberapa banyak kita memberi. NAMUN, yang perlu diingat di sini adalah pemberian haruslah diberikan secara sukarela, berasal dari hati kita. Pemberian tidak dapat diterima apabila diberikan karena terpaksa, dengan sedih hati, tanpa sukacita dalam melakukannya, atau bila diberikan sebagai paksaan atau kewajiban. Sebagai “paksaan” berarti kita diwajibkan melakukannya. Kita tidak ingin, tetapi terpaksa melakukannya. Dan inilah yang seringkali terjadi dalam hal persepuluhan. Para pengkhotbah muncul dan mulai mengutip Maleakhi dan ayat-ayat Perjanjian Lama lainnya tentang persepuluhan dan pada akhirnya mengajarkan atau menyiratkan bahwa bila kita tidak membayar persepuluhan ke gereja, kita akan dikutuk oleh Tuhan dan kita sedang menipu Dia, sehingga kita pun terpaksa menuliskan cek. Sesungguhnya, kita tidak memberi secara sukarela, sebab kita memberi hanya karena tidak mau menipu Tuhan dan berada di bawah kutukan—seperti dikatakan para pengkhotbah itu kepada kita. Mungkin hati kita sendiri lebih memilih untuk memberi makan orang-orang miskin, membeli beberapa karung beras untuk anak-anak miskin di Haiti dan mendukung para penginjil yang mengabarkan Injil di India. Namun, kita dipaksa oleh pengkhotbah untuk memberi untuk hal-hal lain yang tidak benar-benar kita inginkan, sehingga, dengan demikian kita memberi atas dasar perasaan bersalah, atas dasar penghukuman. Bukankah memberi seperti ini sama artinya dengan memberi dengan sedih hati dan terpaksa? Saudara-saudariku terkasih, kita tidak perlu menyerah pada anjuran-anjuran semacam itu! Anjuran seperti ini bukanlah suara dari Firman Tuhan tetapi suara dari tradisi dan agama yang menyimpang dari Firman Tuhan. Anda tidak boleh memberi karena orang lain memaksa Anda untuk memberi. Anda haruslah memberi karena Anda sungguh-sungguh ingin memberi dari dasar hati Anda. Bila Anda memberi atas dasar perasaan bersalah, atau dengan sedih hati, pemberian itu tidak akan diterima oleh Allah. Selain itu, bagi mereka yang menggunakan penghukuman dan rasa bersalah sebagai teknik untuk memaksa anak-anak Tuhan memberi bagi tujuan-tujuan mereka, saya ingin tegaskan bahwa: Paulus katakan bahwa ia tidak menginginkan pemberian yang diberikan seakan-akan pemberian itu diambil dari mereka. Allah tidak menginginkan pemberian semacam itu. Allah tidak ingin orang-orang memberi tanpa kerelaan sehingga pemberian itu seakan-akan diambil dari mereka, bahkan bisa dikatakan dicuri dari mereka bukan oleh desakan kekuasaan tetapi oleh desakan kata-kata!

Setelah pembahasan di atas, mari kita lanjutkan dengan melihat 1 Yohanes 3:16-18:

1 Yohanes 3:16-18
“Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita. Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya? Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.”

Firman Allah katakan agar kita tidak memberi dengan sedih hati atau terpaksa, oleh karena seseorang menyuruh kita melakukannya. Sebaliknya, kita harus memberi dengan rela hati dan bermurah hati dalam hal itu. Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. Ia tidak menerima pemberian yang diberikan dengan sedih hati. Seiring dengan itu, adalah dosa bila kita mencintai uang. Sebagaimana Paulus katakan “akar segala kejahatan ialah cinta uang” (1 Timotius 6:10). Ia juga katakan bahwa kemurnian kasih kita diuji melalui seberapa besar kita memedulikan orang lain. Dan apa yang Yohanes gambarkan di sini adalah sebuah realitas kehidupan: ada dua orang bersaudara. Yang satu berlimpah dengan harta duniawi. Ia memiliki tempat tidur ekstra yang kosong di rumahnya. Ia punya banyak uang di bank. Ia juga punya banyak sekali makanan di gudangnya. Orang ini bertemu dengan saudaranya yang hidup berkekurangan. Kekurangan yang dapat dipenuhi oleh orang yang pertama. Apa yang seharusnya dilakukan oleh orang yang kaya itu? Apakah ia perlu berdoa untuk saudaranya yang berkekurangan? Ya, ia juga perlu melakukannya, tetapi ia tidak boleh hanya sampai di sana! Ia juga perlu memberi dan menolongnya. Ia tidak boleh menutup pintu hatinya seperti yang Yohanes katakan dan hanya mengucapkan kata-kata doa atau berkata “Semoga Tuhan memberkatimu, saudaraku”, lalu pergi meninggalkannya. Ujian kepedulian terhadap sesama membuktikan ketulusan kasih kita serta menunjukkan apakah kasih Allah ada di dalam hati kita atau tidak. Dan ini sesungguhnya hal yang sangat serius.

Kembali ke sistem persepuluhan, terdapat penyimpangan lain yang tercipta oleh karena diberlakukannya sistem ini: orang-orang dipaksa untuk memberikan persepuluhan mereka ke keranjang gereja lokal dan ketika mereka melihat seorang saudara yang menderita kekurangan, mereka berpikir “Saya kan sudah memberikan persepuluhan saya ke gereja”. Dengan demikian, kita memberi karena terpaksa untuk tujuan-tujuan yang di antaranya hanya terdapat porsi sangat kecil untuk menolong orang miskin (kebanyakan dana yang masuk ke keranjang gereja lokal tidak benar-benar digunakan untuk menolong orang miskin— menyedihkan namun inilah kenyataannya, lihatkan anggaran kebanyakan gereja untuk menegaskan hal ini), dan akhirnya ketika seorang saudara yang berkekurangan datang, kita tidak mau atau kita tidak dapat menolong mereka. Ini adalah situasi yang nyata, menyedihkan dan biasa terjadi.

Kembali ke 2 Korintus 9:6, sangat sering orang-orang menggunakan ayat ini untuk mengatakan kepada yang lain bahwa bila kita memberi banyak, Allah akan mengembalikan pemberian itu berkali-kali lipat banyaknya. Bahkan, sebagai tambahan 2 Korintus 9:6 ini, mereka mengutip kembali kitab Maleakhi:

Maleakhi 3:10-12
“Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan. Aku akan menghardik bagimu belalang pelahap, supaya jangan dihabisinya hasil tanahmu dan supaya jangan pohon anggur di padang tidak berbuah bagimu, firman TUHAN semesta alam. Maka segala bangsa akan menyebut kamu berbahagia, sebab kamu ini akan menjadi negeri kesukaan, firman TUHAN semesta alam.”

Jadi, orang memberi dengan tujuan agar Allah mengembalikan pemberian itu kepada mereka berkali-kali lipat banyaknya. Beberapa pengkhotbah menggunakan ayat-ayat di atas secara salah untuk membujuk para pendengar agar mereka memberi, dengan menjanjikan bahwa mereka akan menerima berkat finansial yang berkelimpahan sebagai gantinya. Akibatnya, orang-orang pun memberi. Tetapi mengapa mereka memberi? Apa motivasi mereka? Bukan motivasi yang berasal dari 2 Korintus atau bagian lain dari Firman Allah. Itu sama sekali bukan tindakan kemurahan hati tetapi lebih merupakan tindakan atas dasar rasa bersalah (mereka memberi sehingga mereka tidak….. menipu Allah, seperti yang dikatakan si pengkhotbah) atau atas dasar ketamakan (mereka memberi agar mendapat balasan jauh lebih banyak). Dengan cara ini, Allah dianggap sebagai mesin uang, sebagai bank. Berikanlah persepuluhan Anda dan Anda akan memperoleh kembali berkali-kali lipat. Menggunakan uang sebagai motivasi adalah salah! Meskipun Allah memang bermurah hati kepada mereka yang memberi dengan murah hati, Paulus tidak bermaksud menggunakan 2 Korintus 9:6 untuk membujuk jemaat-jemaat di Korintus agar mereka memberi dengan dijanjikan panen yang besar sebagai balasannya! Saya percaya yang Paulus ingin lakukan adalah menyatakan sebuah fakta. Memang ada panen bagi para pemberi. Memang ada upah. Saya tidak tahu apa itu, tetapi mengapa kita berpikir itu adalah panen finansial, atau hanya panen finansial atau panen yang hanya mengacu pada kehidupan duniawi ini? Yang utama adalah adanya sebuah panen! Dan orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga. Ini adalah sebuah fakta! Firman Allah tidak berbicara tentang panen finansial. Firman Allah berbicara tentang panen dan ada bermacam-macam panen, termasuk di dalamnya panen finansial. Apakah Anda ingin menyebutnya “berkat”, di bumi dan di surga? Sebutlah demikian. Saya sendiri lebih menyukai kata panen! Apakah Anda ingin memanen banyak? Menaburlah banyak juga!

2 Korintus 9:8-15: “Senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu”, jaminan dari Allah

2 Korintus 9:8-9
“Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan. Seperti ada tertulis: "Ia membagi-bagikan, Ia memberikan kepada orang miskin, kebenaran-Nya tetap untuk selamanya."

Allah tidak ingin meninggalkan sedikit pun keraguan, sehingga melalui Paulus, Ia mengatakan bahwa: tidak ada seorang pun yang memberi dengan murah hati akan dibuat-Nya menjadi berkekurangan. Ia memastikan bahwa mereka akan berkecukupan di dalam segala sesuatu dan ini berlaku senantiasa! Mereka akan senantiasa berkelebihan untuk dapat melakukan berbagai kebajikan! Allah Sendiri yang menjamin ini! Kemudian Paulus mengutip dari Mazmur 112:9: “Ia membagi-bagikan, ia memberikan kepada orang miskin; kebajikannya tetap untuk selama-lamanya”. Perhatikan bahwa ayat ini bukan merujuk kepada Allah. Ayat ini tidak berkata, “Allah membagi-bagikan, Allah memberikan kepada orang miskin, kebajikan Allah tetap untuk selama-lamanya”. Sebaliknya, Mazmur ini merujuk kepada orang yang takut akan Allah. Mari kita membaca keseluruhan pasal ini karena di dalamnya terkandung lebih banyak janji:

Mazmur 112:1-10
“Haleluya! Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya. Anak cucunya akan perkasa di bumi; angkatan orang benar akan diberkati. Harta dan kekayaan ada dalam rumahnya, kebajikannya tetap untuk selamanya. Di dalam gelap terbit terang bagi orang benar; pengasih dan penyayang orang yang adil. Mujur orang yang menaruh belas kasihan dan yang memberi pinjaman, yang melakukan urusannya dengan sewajarnya. Sebab ia takkan goyah untuk selama-lamanya; orang benar itu akan diingat selama-lamanya. Ia tidak takut kepada kabar celaka, hatinya tetap, penuh kepercayaan kepada TUHAN. Hatinya teguh, ia tidak takut, sehingga ia memandang rendah para lawannya. Ia membagi-bagikan, ia memberikan kepada orang miskin; kebajikannya tetap untuk selama-lamanya, tanduknya meninggi dalam kemuliaan. Orang fasik melihatnya, lalu sakit hati, ia menggertakkan giginya, lalu hancur; keinginan orang fasik akan menuju kebinasaan.”

Kami telah membahas secara khusus tentang takut akan Allah di dalam studi kami yang lain . Orang yang takut akan Allah akan berbahagia! Dan salah satu yang dilakukan oleh orang yang takut akan Allah adalah memberi kepada orang miskin. Ia murah hati dalam memberi. Ia membagi-bagikan. Ia tidak pelit melainkan murah hati karena Allah adalah kelimpahannya. Sebagaimana 2 Korintus katakan kepada kita bahwa Allah Sendiri menjamin apabila kita memberi dengan murah hati kepada orang-orang miskin, kita tidak akan kekurangan benih. Seperti yang Paulus katakan:

2 Korintus 9:10-15
“Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu; kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami. Sebab pelayanan kasih yang berisi pemberian ini bukan hanya mencukupkan keperluan-keperluan orang-orang kudus, tetapi juga melimpahkan ucapan syukur kepada Allah. Dan oleh sebab kamu telah tahan uji dalam pelayanan itu, mereka memuliakan Allah karena ketaatan kamu dalam pengakuan akan Injil Kristus dan karena kemurahan hatimu dalam membagikan segala sesuatu dengan mereka dan dengan semua orang, sedangkan di dalam doa mereka, mereka juga merindukan kamu oleh karena kasih karunia Allah yang melimpah di atas kamu. Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!”

Allah yang menyediakan benih bagi penabur dan roti untuk dimakan, Ia juga akan menyediakan dan melipatgandakan benih yang telah kita tabur sehingga kita dapat menuai lebih banyak lagi. Dan Paulus menjelaskan bahwa pemberian ini, pemberian kepada orang-orang miskin, akan membangkitkan ucapan syukur yang berlimpah-limpah kepada Allah. Dari contoh jemaat Korintus, para penerima akan memuliakan Allah atas pemberian yang murah hati dari saudara-saudari mereka di Korintus.

Kesimpulan dari pembahasan 2 Korintus 8-9

Mari kita menarik kesimpulan dari apa yang telah kita pelajari dari 2 Korintus 8-9. Seperti yang kami katakan sebelumnya, inilah kedua pasal yang paling banyak memuat informasi tentang pemberian dibandingkan dengan pasal-pasal lainnya, yang dituliskan kepada jemaat Allah. Berikut ini beberapa poin penting yang telah kita pelajari:

i) 2 Korintus 8-9 berbicara tentang pemberian, yaitu pemberian berupa kasih karunia. Bukan tentang persepuluhan dan pemberi persepuluhan, melainkan tentang pemberian dan orang-orang yang memberi.

ii) Tujuan pemberian adalah untuk membantu orang-orang kudus yang miskin di Yerusalem. Membantu orang-orang kudus yang miskin bukan satu-satunya tujuan pemberian. Kita akan melihat tujuan-tujuan lainnya. Namun, memberi kepada orang miskin adalah salah satu tujuan terpenting. Saya percaya, berdasarkan Kitab Suci, bahwa membantu orang-orang kudus yang miskin haruslah menempati prioritas sangat tinggi bagi orang-orang dan jemaat-jemaat dalam hal memberi.

iii) Kita harus memberi dengan rela hati, bukan karena paksaan.

iv) Dalam memberi: kemauan adalah prasyarat. Kemauan adalah motivator yang utama. 2 Korintus sama sekali tidak mengajarkan kita untuk memberi atas dasar rasa bersalah, atau karena “paksaan”.

v) Kita memberi berdasarkan apa yang ada pada kita dan bukan berdasarkan apa yang tidak ada pada kita. Tidak ada persentase pasti tentang seberapa banyak orang memberi. Yang ada adalah kombinasi antara a) kemauan dan b) kemampuan, atau dengan kata lain “berdasarkan apa yang ada padamu”. Mengenai kemauan: seorang kristiani sejati yang memiliki kasih Allah dalam hatinya pastilah memiliki kemauan untuk menolong saudara-saudaranya yang miskin. Yohanes menjelaskan bahwa orang yang melihat saudaranya menderita kekurangan dan ia punya kemampuan untuk membantunya “tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?” (1 Yohanes 3:16-18).

vi) Paulus ingin agar pemberian menjadi sebuah tindakan kemurahan hati dari pihak Korintus dan bukan tindakan ketamakan atau kerakusan dari pihaknya, di mana ia seakan-akan memeras mereka agar memberi, melalui cara menanamkan perasaan bersalah atau cara-cara manipulatif lainnya. Kebalikan dari apa yang seringkali dilakukan pada zaman sekarang, Paulus tidak menggunakan rasa bersalah untuk membujuk orang memberi. Pemberian itu sendiri bukan satu-satunya hal yang penting. Hal yang sama pentingnya adalah bagaimana pemberian itu diberikan. Menggunakan rasa bersalah untuk memotivasi orang memberi adalah salah. Saya melihat bahwa satu-satunya motivator yang valid dalam hal memberi adalah kemauan dari hati kita.

vii) Kita juga belajar bahwa pemberian tidak boleh diberikan dengan sedih hati atau terpaksa. Sebaliknya, pemberian haruslah diberikan dengan sukacita. Sama halnya dengan bagian vi) di atas. Pemberian itu sendiri tidaklah cukup. Sama pentingnya adalah bagaimana pemberian itu diberikan dan apa yang menjadi motivator seseorang dalam memberi.

viii) Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga. Bila Anda menginginkan sebuah hukum, maka ini adalah sebuah hukum, sebuah prinsip yang tidak akan pernah diselewengkan. Memberi itu sama seperti menabur benih. Orang yang menabur banyak, akan memanen banyak. Panennya tidak selalu berarti panen finansial atau hanya panen finansial. Panen ini dapat berupa berbagai hal, termasuk di antaranya “panen” finansial. Paulus tidak mengeluarkan pernyataan ini untuk membujuk orang agar mereka memberi atas dasar ketamakan. Tidak ada hal yang baik dalam ketamakan dan ketamakan tidak pernah dapat menjadi motivator yang baik untuk apa pun. Paulus mengatakan ini untuk menyatakan sebuah fakta, dan hukum tabur tuai adalah sebuah fakta.

ix) Allah Sendiri menjamin bahwa tidak ada seorang pun yang memberi dengan murah hati akan menjadi orang yang berkekurangan. Allah Sendiri yang menjamin. Sebagaimana dikatakan dalam Firman-Nya: “Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan.” SEGALA kasih karunia, SENANTIASA, BERKECUKUPAN di dalam SEGALA sesuatu, sehingga kita berkelebihan dalam PELBAGAI kebajikan. Sedemikian jelas perkataan itu. Dan, ada Sang Penjamin di balik janji ini dan Dia adalah Allah Sendiri.

x) Terakhir, Paulus berupaya agar tidak seorang pun dapat mencelanya mengenai administrasi dari pemberian ini. Ia sepenuhnya bersikap transparan mengenai pemberian serta penggunaannya.

Anastasios Kioulachoglou

 



Catatan kaki

1. Lihat: Takut akan Tuhan